Marwah pers oleh Hartany Soekarno sebagai jurnalis senior Kalimantan Tengah.
Marwah pers oleh Hartany Soekarno sebagai jurnalis senior Kalimantan Tengah.

Palangka Raya, wartapenasatu.com — Di halaman kecil pendopo sebuah rumah yang sederhana di bawah rindang pohon rambutan yang buahnya mulai memerah, seorang lelaki berusia senja duduk menatap jauh ke halaman. Angin sore sepoi menggoyang ranting seolah ikut menjaga percakapan kami saat itu. Di kursi karet sederhana, Hartany Soekarno, jurnalis yang telah mengabdi lebih dari empat puluh tahun mewakafkan dirinya untuk menulis tentang keadilan. Dia membuka kembali buku kehidupan yang tak pernah selesai ia tutup. Palangka Raya, Selasa 2 Desember 2025.
Hartany bukan seorang jurnalis yang tumbuh dari ruang redaksi ber-AC atau gemerlap acara peluncuran media. Ia tumbuh dari lapangan, dari debu jalan kampung, dari suara rakyat kecil yang sering tak terdengar oleh mereka yang memegang kekuasaan. perjalanan panjang pengabdian itu tidak selalu mulus dia lalui.
“Dulu saya juga pernah dipanggil wartawan bodrek,” dengan suara tenang tetapi menyimpan getir yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tertawa kecil, bukan karena lucu, tetapi karena semua itu kini terasa jauh terlampaui oleh waktu dan karya. “Namun perlahan-lahan, sebutan itu hilang sendiri. Pembaca yang membelaku. Tulisan-tulisan saya yang menjawab.” ucapnya tenang.
Ia menatap pena tua yang tergeletak di atas meja, seolah di sanalah roh hidupnya bertumpu. Lalu ia berkata lirih namun penuh keyakinan, “Wartawan itu tidak dilihat dari usia. Mereka dinilai dari karyanya, apakah membuat publik lebih cerdas, lebih sadar, dan berani melihat kebenaran.” tegasnya.
Setiap katanya seperti palu kecil yang mengetuk kesadaran. Ada keteguhan yang hanya bisa dimiliki seseorang yang pernah jatuh, diremehkan, namun memilih bangkit tanpa dendam.
Dalam obrolan yang mengalir seperti cerita senja di kampung halaman, Hartany menyinggung satu hal yang sering menjadi ketakutan banyak jurnalis: berada di luar lingkaran kekuasaan.
“Jangan takut,” katanya sambil memandang lurus, seolah menatap seluruh jurnalis muda yang pernah ia temui. “Kita hidup bukan dari kontrak pemberitaan. Kita hidup dari karya. Dari kejujuran kita menulis.” tuturnya pelan tapi tegas.
“Kalau kita jujur, maka bekerjalah dengan hati, karena kekuasaan bukan hal yang menakutkan.
Kita memang harus berdiri di luar lingkaran itu. Karena di sanalah seorang jurnalis dapat melihat semuanya dengan terang.” katanya tegas.
Namun dibalik tutur yang tegas, ia tak menutup mata terhadap kondisi pers hari ini.
Ia melihat jurnalis terkotak-kotak oleh kepentingan, terpecah oleh kelompok, terseret oleh arus yang membuat mereka saling menjauh.
“Padahal kita ini saudara,” ucapnya pelan.
“Marwah pers itu runtuh kalau kita tidak bersatu.”tambahnya lagi.
Hartany menegakkan tubuhnya, seperti ingin memastikan kalimat berikutnya tak akan disalah pahami.
“Jurnalis itu harus tetap pegang Kode Etik Jurnalistik.
Itu benteng kita. Kita ini bukan sekadar penyampai kabar, kita ini pendidik, pengingat, pengontrol. Tanpa itu, pers hanyalah bayangan yang kehilangan bentuk.” tegasnya.
Sore hampir berganti malam ketika percakapan itu berakhir. Cahaya jingga menembus sela-sela dedaunan rambutan di halaman, membingkai Hartany dalam siluet yang hampir puitis. Di tengah senja, ia tampak seperti seorang penjaga terakhir marwah pers, dengan suara yang tenang namun tegas, Hartany masih berusaha menjaga api integritas jurnalis agar tak padam.
Saat angin kembali berhembus, sebagai penulis saya menyadari satu hal: kadang, nasihat paling keras tidak datang dari gedung megah, tetapi dari pendopo sederhana di bawah pohon rambutan, dari seorang jurnalis yang tetap tegar berdiri meski badai berkali-kali menerjang diri dan nyawanya.(ryt)
Anda Mungkin Suka Juga
Prestasi Membanggakan, Tim Tenis Meja Polda Kalteng Berhasil Sabet Juara 3 pada Turnamen Piala Panglima TNI Cup 2025 di Pontianak, Kalimantan Barat
29 September 2025
Kasum TNI Tinjau Hasil Penertiban Ilegal Logging di Pelabuhan Gresik
14 Oktober 2025