Sidang KDRT dr. Meiti Muljanti: Terdakwa Ungkap Penderitaan 30 Tahun Pernikahan dalam Pledoi
WARTAPENASATUJATIM | Surabaya, 21 Oktober 2025 — Sidang kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan terdakwa dr. Meiti Muljanti kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (21/10/2025). Agenda sidang kali ini adalah Pembacaan Nota Pembelaan (pledoi) di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Ratna Dianing Wulansari, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Galih Riana Putra Intaran.
Dalam pledoinya, dr. Meiti menguraikan perjalanan rumah tangganya bersama dr. Benjamin Kristianto selama sekitar 30 tahun. Ia mengungkapkan bahwa kehidupan rumah tangga yang awalnya harmonis mulai retak sejak keduanya pindah ke Surabaya pada tahun 2002.
“Suami saya sering berkata kasar, membentak, bahkan memukul, menampar, melempar benda keras, dan meludahi saya. Sejak itu kehidupan rumah tangga saya tidak nyaman,” ujar Meiti di hadapan majelis hakim.
Meiti juga menuding suaminya berselingkuh dengan sejumlah perempuan, termasuk asisten rumah tangga dan perawat di klinik serta rumah sakit yang mereka dirikan bersama, yaitu Klinik Jeremy Medical Service (2006) dan RS Sheila Medika (2020) di Sidoarjo.
Lebih lanjut, Meiti mengaku menjadi korban kekerasan seksual dan psikis, termasuk dipaksa melakukan hubungan menyimpang hingga mengalami perdarahan dan gangguan kesehatan. Ia bahkan menyebut hasil tes medis menunjukkan dirinya positif HPV DNA, yang berisiko menyebabkan Kanker Rahim.
Selain itu, Meiti menuding suaminya melakukan penelantaran ekonomi. Meskipun RS Sheila Medika disebut sebagai hasil kerja bersama, ia hanya menerima transfer bulanan sebesar Rp10 juta, yang kerap tidak dibayarkan secara rutin. Ketika ia melaporkan kasus penelantaran tersebut, Meiti justru dipecat oleh suaminya yang menjabat sebagai direktur rumah sakit.
Dalam pembelaannya, Meiti menegaskan bahwa tindakannya yang dilaporkan sebagai KDRT sebenarnya merupakan refleks membela diri, bukan tindakan yang disengaja.
“Kejadian itu spontan karena saya takut suami akan mengulangi kekerasan fisik. Saya mengambil alat dapur untuk membela diri, tidak ada niat jahat,” jelasnya.
Meiti juga menyoroti ketidakkonsistenan dakwaan jaksa dalam surat tuntutan tertanggal 14 Oktober 2025, antara Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Ia menilai luka yang dialami suaminya tergolong ringan dan tidak menghalangi pekerjaan, sehingga seharusnya pasal yang diterapkan adalah ayat (4).
“Jaksa tidak dapat membuktikan secara hukum bahwa luka korban menimbulkan penyakit atau halangan untuk bekerja,” kata Meiti, sambil menegaskan bahwa dirinya adalah korban sesungguhnya.
Meiti mengaku mengalami tekanan berat selama proses hukum lantaran suaminya merupakan anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi Gerindra. Ia menyebut sempat menjalani pemeriksaan psikologis, psikiatris, hingga lie detector, yang membuatnya stres dan akhirnya mencabut laporan KDRT pada 2021.
Menutup pledoinya, Meiti menyampaikan permohonan maaf kepada majelis hakim dan JPU, serta berharap mendapatkan putusan yang adil dan keringanan hukuman.
“Saya menyerahkan nasib saya kepada Yang Mulia Majelis Hakim. Jika dianggap bersalah, mohon hukuman seringan-ringannya, bahkan bila memungkinkan cukup denda saja. Saya masih harus mengurus tiga anak yang masih sekolah,” pungkasnya.
Sidang dengan agenda pembacaan replik dari jaksa penuntut umum dijadwalkan pekan depan di ruang Tirta, Pengadilan Negeri Surabaya.
Semoga keadilan berpihak pada dr. Meiti dan anak-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius, dan semoga kasus ini menjadi perhatian bagi kita semua.*** (Bgn)
Anda Mungkin Suka Juga
Tinjauan MBG di Toba: Sinergi Pemerintah dan DPR RI untuk Generasi Emas
14 Oktober 2025
Polisi Bersama Pemkab Ponorogo Sidak Sejumlah SPBU Cek BBM Pertalite
2 November 2025