Bahaya Proxy War dan Tantangan Pancasila di Era Modern
WARTAPENASATUJATIM | Surabaya – Dalam seminar yang berlangsung di Gedung PPAD Jalan Brawijaya, Surabaya, suasana ruang diskusi menghangat saat salah satu peserta, Arul Hasyim Simpajo, S.H., anggota Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (HIPAKAD), melontarkan pertanyaan tajam dan berbobot mengenai bahaya Proxy War antarnegara serta pentingnya pendidikan dan pengamalan Pancasila bagi generasi muda Indonesia.
Pertanyaan tersebut sontak menarik perhatian seluruh peserta seminar. Arul menyoroti bagaimana generasi muda kini berada di tengah gempuran globalisasi dan perang asimetris, di mana batas antara musuh dan kawan tak lagi jelas.
Ia menegaskan bahwa “perang masa kini bukan lagi soal senjata dan peluru, melainkan perang pemikiran, budaya, dan ekonomi.”
Menanggapi hal itu, narasumber utama, Brigjen TNI (Purn) S. Aldian Gondokusumo, S.E., memberikan penjelasan yang lugas dan mendalam tentang pentingnya keamanan proxy serta peran strategis nilai-nilai Pancasila sebagai benteng ideologi bangsa.
Ia menjelaskan bahwa Proxy War adalah bentuk perang modern di mana satu negara memanfaatkan pihak ketiga untuk melemahkan negara lain tanpa harus berperang secara langsung.
Menurut Brigjen TNI Purn Aldian, bentuk Proxy War saat ini bisa datang melalui berbagai saluran, mulai dari media sosial, ekonomi, gaya hidup, bahkan pendidikan.
“Kita bisa dikalahkan tanpa diserang. Cukup dengan membuat generasi muda kehilangan identitas nasionalnya, melupakan sejarah, dan tidak lagi mengamalkan Pancasila,” ujarnya dengan nada serius.
Lebih lanjut, beliau mencontohkan fenomena disinformasi dan polarisasi politik yang merebak di media sosial. Banyak generasi muda terjebak dalam perang opini tanpa menyadari bahwa mereka sedang menjadi “Prajurit Tidak Sadar” dalam strategi Proxy War Global.
“Inilah bentuk perang modern. Lawan kita bukan pasukan berseragam, tapi algoritma dan narasi yang melemahkan moral bangsa,” tegasnya.
Sebagai solusi, Brigjen TNI Purn Aldian menekankan pentingnya memperkuat Keamanan Proxy, yaitu kemampuan bangsa untuk mengenali, menangkal, dan menetralkan ancaman non-militer yang dapat menggerus ketahanan nasional.
Keamanan Proxy mencakup literasi digital, pendidikan kebangsaan, serta penguatan karakter Pancasila sejak usia dini.
Ia juga menyinggung bahwa Proxy Defense tidak bisa hanya diserahkan pada militer, tetapi juga harus menjadi kesadaran kolektif masyarakat sipil.
“Orang tua, guru, mahasiswa, dan bahkan pelaku usaha punya peran penting. Membangun pertahanan ideologis itu seperti membangun imun bangsa, harus dimulai dari diri sendiri,” tuturnya.
Sebagai contoh konkret, Brigjen TNI Purn Aldian mengangkat kasus perang dagang dan informasi antara beberapa negara besar yang memengaruhi arah kebijakan politik negara berkembang. Indonesia, katanya, harus cerdas menempatkan diri.
“Kita jangan sampai hanya jadi pion di papan catur global. Kita harus jadi pemain yang punya strategi, bukan sekadar korban dari skenario proxy,” ujarnya tegas.
Ulasan itu menutup dengan ajakan reflektif. Menurut Brigjen TNI Purn Aldian, saatnya generasi muda Indonesia tidak hanya hafal lima sila, tetapi menghidupkannya dalam tindakan.
Pendidikan Pancasila bukan sekadar mata pelajaran, tetapi pedoman hidup yang melahirkan generasi berkarakter tangguh, nasionalis, dan berintegritas.
Seminar yang berlangsung penuh antusias ini menjadi cermin nyata bahwa semangat bela negara tidak boleh padam. Di tengah derasnya arus globalisasi, proxy war harus dihadapi dengan kekuatan moral, ideologi, dan persatuan.
Seperti yang dikatakan Arul Hasyim di akhir sesi, “Kalau bukan kita yang menjaga Pancasila, siapa lagi?” Sebuah kalimat sederhana, tapi menggema kuat di ruang kebangsaan hari itu.*** (Dodo)
Anda Mungkin Suka Juga
Wujudkan Program Ketahanan Pangan Polres Probolinggo Bersama Kelompok Tani Panen Jagung di Bantaran
Oktober 8, 2025
Gelar KRYD Polres Kediri Kota Amankan Ranmor Tidak Sesuai Spektek
Oktober 13, 2025