Lembaga Kesultanan Bangkalan Menilai Penganugerahan Gelar untuk Bupati Bangkalan dan Wakilnya Hanya Sebuah Lelucon: “Darah Leluhur Tak Bisa Dibeli”
WARTAPENASATUJATIM | Bangkalan – Penganugerahan Gelar Kehormatan kepada Bupati Bangkalan Lukman Hakim dan wakilnya Moh. Fauzan Ja’far beberapa pekan lalu, muncul kritikan pedas dari lembaga resmi pemangku Kesultanan Kraton Bangkalan. Pemberian gelar tersebut dinilai mencederai pranata adat dan nilai sejarah leluhur.
Salah satu tokoh Keturunan dan Pemangku Kesultanan di Bangkalan menyebut bahwa gelar yang diberikan itu tidak memiliki dasar silsilah dan diduga menyalahi tatanan dinasti Keraton Madura.
“Darah leluhur tidak bisa dibeli. Gelar kebangsawanan itu hanya untuk mereka yang memiliki trah kerajaan. Ini hanya con-locon (lelucon),” tegasnya saat ditemui di kediamannya. Selasa (28/10)
Sebagai lembaga resmi pemangku Kesultanan ia menjelaskan bahwa Keraton Bangkalan resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada 22 Agustus 1885. Sehingga, sistem monarki atau kerajaan dan pemberian gelar kebangsawanan tidak lagi berlaku.
“Kalau sudah bubar, lalu atas dasar apa gelar kebangsawanan bisa muncul lagi? Siapa yang berwenang? Ini jelas sudah menabrak pranata adat dan trah kebangsawanan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyebut adanya dugaan bahwa gelar tersebut diperoleh melalui transaksi.
“Saya mendapat informasi gelar itu beli. Entah siapa makelarnya,” ujarnya.
Sementara itu Bupati Lukman menyebut gelar tersebut adalah sebagai bentuk komitmen menjaga Adat dan Budaya.
“Alhamdulillah, gelar kehormatan ini saya terima bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi sebagai bentuk komitmen kita bersama menjaga adat-budaya, persaudaraan, dan kemajuan Bangkalan,” ujar Lukman.
Namun pernyataan itu justru dianggap kontradiktif oleh para pemangku Kesultanan karena dinilai mengabaikan akar sejarah.
“Bangkalan bukan panggung sandiwara adat. Kalau bicara budaya, pahami sejarahnya. Darah leluhur tak bisa dibeli,” pungkasnya.
Keprihatinan mendalam juga disuarakan oleh kalangan keluarga Dinasti Cakraningrat Sembilangan terkait proses penganugerahan itu. Pemberian gelar tersebut dianggap sinyal darurat yang harus ditanggapi sangat serius.
Sebagai Pengurus Hukum Adat Dinasti Madura, menegaskan bahwa sorotan ini muncul bukan tanpa alasan, melainkan karena proses tersebut dinilai sudah melabrak sejumlah pranata adat Keraton Madura Barat yang kokoh.
“Saya harus menekankan, gelar dalam pandangan tradisi Madura sejati bukanlah sekadar tempelan atau pelengkap nama yang bisa diberikan sembarangan. Ia adalah lambang sakral, cerminan dari tanggung jawab moral dan sosial yang seyogianya diwariskan atau diberikan berdasarkan kaidah leluhur yang tidak boleh diganggu gugat,” ujar beliau dengan nada tegas. (Kamis, 7/11)
Atas kejadian tersebut, amat disayangkan adanya pihak yang terlalu terburu-buru dalam memberikan penilaian dan mengusulkan penganugerahan gelar.
Ini menunjukkan adanya kerentanan dalam memahami makna historis dan nilai spiritual dari gelar tersebut.
“Keprihatinan utama kami adalah, apakah proses ini sudah benar-benar berfokus pada penelusuran silsilah yang akurat serta penilaian terhadap kontribusi nyata yang telah diberikan kepada adat dan budaya Madura? Atau, jangan-jangan, kita justru terlalu menonjolkan aspek seremonial dan publikasi semata?” ucapnya tegas.
Pihak keluarga Dinasti Madura khawatir, tanpa dasar adat yang kuat dan legitimasi silsilah yang jelas, gelar-gelar semacam itu berisiko besar untuk kehilangan makna dan martabatnya di mata masyarakat.
“Kami sangat mengkhawatirkan masyarakat akan menganggap gelar-gelar ini sebagai simbol yang kurang bernilai, yang pada akhirnya hanya akan mengindikasikan kurangnya pemahaman mendalam terhadap sejarah dan tata nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur Dinasti Cakraningrat,” lanjut beliau.
Mereka juga menjelaskan penting untuk diingat, bahwa kehormatan sejati tidak dapat dicari dengan mudah, pun tidak dapat diberikan tanpa landasan yang kuat.
“Kehormatan sejati itu hanya bersemi dari pemahaman yang tulus terhadap adat, ketulusan hati, dan keterikatan yang sah dengan akar budaya leluhur kita,” pungkasnya.
Oleh karena itu, mereka berharap agar penegakan pranata adat terus dijaga dengan ketat. Apabila kaidah-kaidah leluhur terus-menerus diabaikan, mereka khawatir hal ini tidak hanya akan mengurangi nilai warisan Dinasti Cakraningrat, tetapi juga secara keseluruhan dapat merusak martabat Darah Biru Madura, dan pada akhirnya, gelar kehormatan yang diberikan akan kehilangan seluruh makna historisnya.
“Kami mengajak semua pihak untuk kembali merenungkan dan menghormati tradisi ini.” tutupnya.*** (Azis).
Jurnalis: Abdul Azis
Anda Mungkin Suka Juga
Pendapatan Transfer Kabupaten Toba pada RAPBD 2026 Turun 24,55% Dibanding Tahun 2025
November 14, 2025
MENGHADANG KUBILAI KHAN DISKUSI DAN BEDAH BUKU UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LITERASI
Agustus 20, 2025