Uncategorized

Mercusuar yang Meredup: Gugatan MAKI, Nama Bobby, dan Rp 2,8 Miliar yang Tak Tercatat

Bagikan

WARTAPENASATUJATIM |Surabaya – Di negeri yang saban hari diterjang Bencana Tanda Tangan, ada satu badai yang tak pernah berhenti berputar, badai kecewa publik terhadap KPK.

Bulan ini, masyarakat merasa seperti tinggal di tengah pusaran angin topan yang menelan harapan.

KPK, lembaga super body yang dibiayai APBN triliunan rupiah dengan gedung merah putih yang gagah seperti patung penjaga gerbang keadilan, kini justru lebih mirip mercusuar mati. Tinggi, mahal, tapi tak lagi memberi cahaya.

Kasus Ira Puspadewi7 baru mereda seperti gempa utama, tapi datanglah gempa susulan yang lebih dahsyat.

Publik sudah mendidih, lalu mendidih lagi seperti gunung api yang lupa matikan mode erupsi.

Dari tengah reruntuhan kepercayaan itu, muncullah MAKI, yang seolah berkata, “Kalau ini terus dibiarkan, yang tersisa nanti hanya puing-puing.”

Maka mereka menggugat KPK ke PN Jakarta Selatan. Gugatan untuk memaksa KPK menuntaskan dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara, proyek Rp 975 miliar yang mendadak naik jadi Rp1 triliun tanpa pembahasan normal. Anggaran naik seperti ombak pasang, tapi penyidikannya justru surut.

Sidang perdana digelar Jumat, 5 Desember 2025. Boyamin Saiman hadir sebagai pemohon, hakim hadir, wartawan hadir, bahkan petugas AC pun hadir dengan hembusan anginnya yang dramatis. Tapi KPK ? Tidak ! Mereka hanya mengirim surat minta penundaan sidang karena “masih siapkan berkas,” seperti nelayan yang minta badai menunggu karena jaringnya belum kering.

Hakim pun menunda ke 12 Desember 2025.

Di tengah suasana menegangkan itu, dunia luar justru menghadirkan ironi yang indah, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerima penghargaan perdamaian FIFA pada drawing Piala Dunia 2026 di Miami, Jumat (5/12/2025). Di satu sisi dunia merayakan perdamaian, di sisi lain kita di Indonesia justru sedang menyaksikan lembaga antikorupsi sibuk menunda sidang.

Ironi ini seperti pelangi muncul di tengah asap kebakaran hutan, cantik, tapi tetap saja panas.

MAKI menegaskan, inti gugatan dengan Nomor 157/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL adalah memaksa KPK bekerja. Karena ada satu nama yang belum disentuh penyidik, padahal hakim Tipikor Medan sudah meminta, Bobby Nasution.

Atasan para terdakwa, pemegang jejak kebijakan, sosok yang diduga mengetahui alasan Topan Ginting dipindah dari Pemkot Medan ke Pemprov Sumut bak pion catur melompat tanpa aturan.

Tapi entah mengapa, setiap kali namanya muncul, KPK seperti diterpa angin dingin, diam, menunggu, dan tidak memanggil.

Lebih dramatis lagi, uang tunai Rp 2,8 miliar hasil OTT 26 Juni 2025 tiba-tiba hilang dari surat dakwaan.

Hilang seperti perahu kecil ditelan gelombang laut gelap. Padahal itu bukti inti, jantung perkara, nadi kebenaran. Kok bisa lepas ?

MAKI menegaskan, “Sampai kapan pun kalau Bobby belum diperiksa, ya kita gugat lagi.”
Ini bukan ancaman. Ini seperti sirene peringatan tsunami yang terus berbunyi sampai semua orang sadar, ada bahaya, dan KPK tidak boleh diam.

Dalam bencana tanda tangan yang terus bergulung ini, publik tahu satu hal, kalau menunggu KPK bergerak sendiri, mungkin jalan Sumut sudah bolong lagi, musim hujan berganti tiga kali, dan uang Rp 2,8 miliar masih menjadi legenda urban.

Di tengah badai itu, MAKI hadir sebagai satu-satunya perahu yang tetap melawan arus. Publik yang sudah terlalu lama kehujanan, akhirnya ikut naik ke perahu itu sambil berteriak bersama, “KPK, jangan berlindung dari badai.

Hadapilah ! Atau biar MAKI yang menyeret kalian ke tengah gelombang pengadilan !”

Bang, badai Topan sepertinya membuat jagoan kita, KPK, seperti diterpa angin semilir. Membuatnya ngantuk dan ingin tidur.”

“Benar, wak. Saya hanya khawatir abang jagoan kita, MAKI rumahnya terbakar. Udahlah, yok kita seruput Koptagul agar otak selalu encer dan waras.” (Bgn)


Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Wartapenasatu.com @2025